Aku ingin menelpon kamu sekedar berucap rindu, tapi tampaknya pagi menyisakan resahmu semalam. Pun tak ingin kukorek lebih dalam, karena resahmu bisa menjadi lukaku. Kita tak ingin itu terburai, karena hari sudah menanti.
Lalu kukirimkan pagi dengan semangat merahmu, dan kubilang inilah kerja. Sebuah tugas calon kepala keluarga. Mulia. Seharusnya.
Masih saja aku tak bisa menggenapkan langkah, dengan sisa dingin pagi ini. Kudapati layar handphone buram, semua yang tersaji hanya lalu lalang. Tak ada yang menarik. Karena tak ada kamu.
Lalu kita akan anggap ini adalah sebuah faktor kelabilanku. Aku yang terlalu ekspresif, ato malah naïf? Ah ini cuma sensifitas berlebih bagi seorang yang akan menghadapi hari besar baginya. Mari berpikir demikian, tapi seperti pernah kubilang.
Sauh telah diangkat, layar telah terkembang, tak kan surut karena gelombang.
Bismillah,
Smoga harimu menyenangkan disana. Aku Cuma ingin dengar kabar darimu saja, tak lebih.